Belajar Komunikasi dari Para Tokoh: Episode King George VI

Siapa yang pernah menonton film yang disutradarai oleh Tom Hooper yang berjudul The King’s Speech (2010). Jadi, penulis ingin menceritakan kisah seorang raja yang ‘gagap’ dalam berbicara dan sukses memimpin kerajaan Britania Raya, khususnya saat masa perang dunia kedua.

Ia memerintah sejak tahun 1937 menggantikan ayahnya, George V. Hal yang menarik dari pembahasan kali ini adalah bagaimana seorang raja yang ‘kurang’ rasa percaya diri saat berbicara bisa memimpin rakyat Britania Raya.

Bagaimana kisahnya?

Selayaknya seorang raja seharusnya tidak gagap, bagaimana bisa ia berkomunikasi dengan rakyatnya kalau ia gagap? Sebenarnya mengucapkan huruf ‘K’ saja hampir tidak mungkin baginya, apalagi untuk membacakan pidato di hadapan ribuan rakyatnya.

George VI lahir pada 14 Desember 1895 dan hidup hingga 6 Februari 1952. Ia bernama lengkap Albert Frederick Arthur George Windsor yang merupakan Raja Kerajaan Britania Raya dan Irlandia Utara dari 1936 hingga 1952.

Albert dilahirkan di Istana Sandringham, Norfolk sebagai anak kedua Raja George V, George VI dididik di Trinity College, Universitas Cambridge dan Royal Navy College di Isle of Wight.  Pada 1923, ia menikah dengan Putri Elizabeth Bowes-Lyon dan melahirkan dua putri yakni;  Elizabeth Alexandra Mary yang kemudiannya menjadi Ratu Elizabeth II; dan Margaret Rose.

George VI yang yang lahir sebagai anak kedua dari George V (raja sebelumnya) tidak dapat menjadi takhta namun kakaknya Edward VIII yang lebih berkharisma, lebih tampan, dan lebih lancar berbicara. Namun ia juga lebih lemah, terlalu hedon, dan naif mengenai politik, juga terlihat memiliki jiwa yang sedikit kejam karena terus menerus mengejek adiknya (George VI) tentang kegagapannya harus menurunkan takhta pada 1936 karena perbuatannya yang menikahi janda Amerika yang sudah 3 kali menikah, hal ini tentu dapat mencemarkan kerajaan.

Untung saja bagi Britania Raya karena George VI harus naik takhta menggantikan kakaknya, pada dasarnya George VI  memiliki lebih banyak harga diri dan mental yang kuat daripada kakaknya, namun gagap berbicara menjadi musuh besarnya.

Lalu, masa kecilnya Albert cukup kelam karena  sering menderita sakit dan digambarkan sebagai “mudah takut dan agak mudah menangis”. Orangtuanya, Duke dan Duchess of York, umumnya dihapus dari hari-hari pengasuhan anak-anak mereka, seperti norma di keluarga aristokrat zaman itu.

Meskipun ia menyayangi ibunya namun sepertinya ibunya tidak berbagi perasaan tersebut kepadanya dan ayahnya yang suka mengkritik dan keras. Pengasuhnya memaksa dia untuk menulis menggunakan tangan kanan walaupun sebenarnya ia sering menggunakan tangan kiri, mulai mengalami kegagapan dari umur 8 tahun.

Sementara itu, pada masa pemerintahan George VI adalah pertama kali menggunakan radio, teknologi yang paling canggih pada masanya. Sehingga menjadikan siapapun dapat berbicara langsung kepada rakyatnya seakan-akan berada pada ruangan yang sama.  Karena adanya teknologi ini menjadikan George VI harus menggunakan microphone, tanpa editing, suatu cobaan bagi orang yang gagap dan pada saat itu sedang terjadi Perang Dunia II.

George VI telah menemui beberapa dokter untuk menyembuhkan kekurangannya tersebut, namun hasilnya nol. Sampai akhirnya istrinya menemukan Lionel Logue, seorang terapis bicara asal Australia yang pada akhirnya menjadi teman baik George VI karena dapat mengurangi kegagapannya.

Keduanya bertemu pada 19 Oktober 1926 di  ruang konsultasi milik Logue yang berada di Harley Street. Prince Albert – Bertie, panggilan akrabnya – pada waktu itu masih sebagai Duke of York.

Elizabeth (istrinya) menemui Logue setelah suaminya memberikan broadcast secara langsung,  ia diminta untuk memberikan penutupan di British Empire Exhibition at Wembley pada 1925 dan berakhir dengan malu dan diam.

Setelah melakukan beberapa teknik Logue menemukan bahwa kondisi George Vi berasal dari fisik dibanding psikologis dan dapat diobati dengan latihan pernapasan dan mengucapkan togue twisters.

“I have a sieve full of sifted thistles and a sieve full of unsifted thistles, because I am a thistle sifter.”

Sehingga, dengan latihan ini ia menjadi lebih percaya diri, tenang, dan gagapnya berkurang. Apa pelajaran yang bisa kamu ambil?

“We have the rights to be heard, because we have voices”.(Kita punya hak untuk didengarkan, karena kita bersuara).

Source:
Film The King’s Speech(2010), directed by Tom Hooper
filmbor.com
Karya Ilmiah Emita Diah Septiani (1511415062), Mahasiwi Universitas Negeri Semarang.
Fwww.dkfindout.com

Share This:

Siapa yang pernah menonton film yang disutradarai oleh Tom Hooper yang berjudul The King’s Speech (2010). Jadi, penulis ingin menceritakan kisah seorang raja yang ‘gagap’ dalam berbicara dan sukses memimpin kerajaan Britania Raya, khususnya saat masa perang dunia kedua.

Ia memerintah sejak tahun 1937 menggantikan ayahnya, George V. Hal yang menarik dari pembahasan kali ini adalah bagaimana seorang raja yang ‘kurang’ rasa percaya diri saat berbicara bisa memimpin rakyat Britania Raya.

Bagaimana kisahnya?

Selayaknya seorang raja seharusnya tidak gagap, bagaimana bisa ia berkomunikasi dengan rakyatnya kalau ia gagap? Sebenarnya mengucapkan huruf ‘K’ saja hampir tidak mungkin baginya, apalagi untuk membacakan pidato di hadapan ribuan rakyatnya.

George VI lahir pada 14 Desember 1895 dan hidup hingga 6 Februari 1952. Ia bernama lengkap Albert Frederick Arthur George Windsor yang merupakan Raja Kerajaan Britania Raya dan Irlandia Utara dari 1936 hingga 1952.

Albert dilahirkan di Istana Sandringham, Norfolk sebagai anak kedua Raja George V, George VI dididik di Trinity College, Universitas Cambridge dan Royal Navy College di Isle of Wight.  Pada 1923, ia menikah dengan Putri Elizabeth Bowes-Lyon dan melahirkan dua putri yakni;  Elizabeth Alexandra Mary yang kemudiannya menjadi Ratu Elizabeth II; dan Margaret Rose.

George VI yang yang lahir sebagai anak kedua dari George V (raja sebelumnya) tidak dapat menjadi takhta namun kakaknya Edward VIII yang lebih berkharisma, lebih tampan, dan lebih lancar berbicara. Namun ia juga lebih lemah, terlalu hedon, dan naif mengenai politik, juga terlihat memiliki jiwa yang sedikit kejam karena terus menerus mengejek adiknya (George VI) tentang kegagapannya harus menurunkan takhta pada 1936 karena perbuatannya yang menikahi janda Amerika yang sudah 3 kali menikah, hal ini tentu dapat mencemarkan kerajaan.

Untung saja bagi Britania Raya karena George VI harus naik takhta menggantikan kakaknya, pada dasarnya George VI  memiliki lebih banyak harga diri dan mental yang kuat daripada kakaknya, namun gagap berbicara menjadi musuh besarnya.

Lalu, masa kecilnya Albert cukup kelam karena  sering menderita sakit dan digambarkan sebagai “mudah takut dan agak mudah menangis”. Orangtuanya, Duke dan Duchess of York, umumnya dihapus dari hari-hari pengasuhan anak-anak mereka, seperti norma di keluarga aristokrat zaman itu.

Meskipun ia menyayangi ibunya namun sepertinya ibunya tidak berbagi perasaan tersebut kepadanya dan ayahnya yang suka mengkritik dan keras. Pengasuhnya memaksa dia untuk menulis menggunakan tangan kanan walaupun sebenarnya ia sering menggunakan tangan kiri, mulai mengalami kegagapan dari umur 8 tahun.

Sementara itu, pada masa pemerintahan George VI adalah pertama kali menggunakan radio, teknologi yang paling canggih pada masanya. Sehingga menjadikan siapapun dapat berbicara langsung kepada rakyatnya seakan-akan berada pada ruangan yang sama.  Karena adanya teknologi ini menjadikan George VI harus menggunakan microphone, tanpa editing, suatu cobaan bagi orang yang gagap dan pada saat itu sedang terjadi Perang Dunia II.

George VI telah menemui beberapa dokter untuk menyembuhkan kekurangannya tersebut, namun hasilnya nol. Sampai akhirnya istrinya menemukan Lionel Logue, seorang terapis bicara asal Australia yang pada akhirnya menjadi teman baik George VI karena dapat mengurangi kegagapannya.

Keduanya bertemu pada 19 Oktober 1926 di  ruang konsultasi milik Logue yang berada di Harley Street. Prince Albert – Bertie, panggilan akrabnya – pada waktu itu masih sebagai Duke of York.

Elizabeth (istrinya) menemui Logue setelah suaminya memberikan broadcast secara langsung,  ia diminta untuk memberikan penutupan di British Empire Exhibition at Wembley pada 1925 dan berakhir dengan malu dan diam.

Setelah melakukan beberapa teknik Logue menemukan bahwa kondisi George Vi berasal dari fisik dibanding psikologis dan dapat diobati dengan latihan pernapasan dan mengucapkan togue twisters.

“I have a sieve full of sifted thistles and a sieve full of unsifted thistles, because I am a thistle sifter.”

Sehingga, dengan latihan ini ia menjadi lebih percaya diri, tenang, dan gagapnya berkurang. Apa pelajaran yang bisa kamu ambil?

“We have the rights to be heard, because we have voices”.(Kita punya hak untuk didengarkan, karena kita bersuara).

Source:
Film The King’s Speech(2010), directed by Tom Hooper
filmbor.com
Karya Ilmiah Emita Diah Septiani (1511415062), Mahasiwi Universitas Negeri Semarang.
Fwww.dkfindout.com

Share This:

More Articles

News

No results found.
Buka
Butuh Bantuan?
Halo, Kawan Bicara!
Ada yang bisa kami bantu?