Bagaimana Gambaran Kebebasan Berkomunikasi di Dunia Maya?

Gambaran Kebebasan Berkomunikasi

Kebebasan Berkomunikasi di Dunia Maya ?

Indonesia darurat komunikasi? Kamu sudah resah dengan isi komentar media sosial dengan segala ujaran kebencian berbagai aspek? Kawan Bicara, kita dipihak yang sama. Keluhan kita pun juga sama.

Terlepas saat ini berada pada momen politik, penulis ingin menyampaikan keresahan yang sama-sama kita sadari yakni masalah menjaga etika dalam berpendapat di dunia maya. Apa yang kamu rasakan? Merasa dipecah belah kah?

Penulis ingin mengajak pembaca untuk merunut kejadian awal masalah kebebasan berpendapat secara dasar. Sebab, hal ini akan menyesuaikan jika dikaitkan dengan wadah berpendapat di dunia maya. Penulis menyinggung kenapa semua orang punya hak berbicara? Karena berlandaskan ‘We Have The Right to be Heard, Because We Have Voices’.

Jika dilihat dari pernyataan di atas bisa dinilai bahwa dari berbagai latar belakang apapun, manusia boleh menyuarakan pendapat. Namun, ada batasan yang mengatur agar kebebasan berpendapat tidak bisa disalahgunakan, khususnya di dunia maya.

Indonesia telah menerapkan pasal pasal 27 Ayat 3 di Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal tersebut mengatur untuk melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Penulis menilai penggunaan aturan UU ITE sangat bagus jika dilihat dari efek jera yang akan membuat siapapun berhati-hati agar tak melakukan kesalahan. Namun, setiap manusia pasti ada yang berbeda pendapat. Hingga, ada kalangan yang kurang menyetujui pasal tersebut.

Alasannya, karena pasal 27 Ayat 3 UU ITE dianggap dari sebagian kalangan berbahaya. Terlebih lagi, jika diterapkan oleh pihak-pihak yang tak paham soal dunia maya. Selain itu, pasal tersebut juga bisa digunakan dengan mudah untuk menjerat oknum demi membungkam kritik.

Menanggapi keinginan tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara secara tegas mengatakan pasal 27 ayat 3 di UU ITE tersebut tidak mungkin dihapuskan.

Jika pasal tersebut dihilangkan, efek jera terhadap para pelanggar hukum akan hilang. Menurut Rudiantara, pasal tersebut sebenarnya memiliki peran besar dalam melindungi transaksi elektronik khususnya di dunia maya.

Namun, hanya saja dalam penerapannya sering terjadi kesalahan. Menurutnya yang salah bukan pasal 27 ayat 3-nya, melainkan adalah penerapan dari pasal 27 ayat 3 tersebut.

Akibat kesalahan penerapan tersebut, lanjut dia, sebanyak 74 orang telah menjadi “korban” dari UU ITE tersebut. “Saya turut prihatin atas kejadian yang menimpa teman-teman, terlepas siapa benar siapa salah. Saya melihat UU ITE secara makro, karenanya saya bilang UU ini tidak salah. Namun untuk kasus ini (korban UU ITE-red), I’m with you. Kalau enggak, saya enggak bakal ada di forum ini,” kata Rudiantara, saat dikutip dari website resmi Kementerian Kominfo.

Revisi adalah salah satu solusi agar tidak lagi ada korban akibat salah penerapan pasal. Solusi kedua adalah melakukan pembicaraan dengan aparat penegak hukum agar lebih hati-hati dalam menerapkan pasal ini di UU ITE, tegasnya.

Sementara itu, Meutya Hafid, Anggota Komisi I DPR RI, menyebut pasal 27 ayat 3 UU ITE sangat berbahaya. Terlebih lagi jika diterapkan oleh pihak-pihak yang tak paham soal dunia maya.

“Kalau saya pribadi tentu ingin dihapus saja. Karena sudah tergantikan dengan adanya KUHP,” kata Meutya dikutip dari website yang sama.

Namun ia meragukan soal kemungkinan dihapusnya pasal ini dari UU, karena hal itu melibatkan banyak pihak yang juga punya kepentingan lain.

Apa yang penulis tanggapi dari kejadian diatas? Penulis berpendapat setiap masalah yang terjadi akibat ada pihak merasa yang dirugikan karena ‘baper’ hingga dikatakan ujaran kebencian.

Jika masalah SARA, penulis sepakat dengan penerapan pasal 27 tersebut, namun jika alasan sepele yang menyebabkan pengguna media sosial bertikai? Apalagi masalah mereka berdua mengajak siapapun untuk ikut bertikai. Konyol bukan?

Kesimpulannya, negara bukan mengatur untuk menjaga perasaan pengguna media sosial. Karena banyak urusan negara yang lebih penting dibanding mengurusi kelakuan netizen yang berselancar di dunia maya.

Bagaimana pendapatmu, Kawan Bicara?

Sumber gambar: pexels.com

Share This:

Gambaran Kebebasan Berkomunikasi

Kebebasan Berkomunikasi di Dunia Maya ?

Indonesia darurat komunikasi? Kamu sudah resah dengan isi komentar media sosial dengan segala ujaran kebencian berbagai aspek? Kawan Bicara, kita dipihak yang sama. Keluhan kita pun juga sama.

Terlepas saat ini berada pada momen politik, penulis ingin menyampaikan keresahan yang sama-sama kita sadari yakni masalah menjaga etika dalam berpendapat di dunia maya. Apa yang kamu rasakan? Merasa dipecah belah kah?

Penulis ingin mengajak pembaca untuk merunut kejadian awal masalah kebebasan berpendapat secara dasar. Sebab, hal ini akan menyesuaikan jika dikaitkan dengan wadah berpendapat di dunia maya. Penulis menyinggung kenapa semua orang punya hak berbicara? Karena berlandaskan ‘We Have The Right to be Heard, Because We Have Voices’.

Jika dilihat dari pernyataan di atas bisa dinilai bahwa dari berbagai latar belakang apapun, manusia boleh menyuarakan pendapat. Namun, ada batasan yang mengatur agar kebebasan berpendapat tidak bisa disalahgunakan, khususnya di dunia maya.

Indonesia telah menerapkan pasal pasal 27 Ayat 3 di Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal tersebut mengatur untuk melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Penulis menilai penggunaan aturan UU ITE sangat bagus jika dilihat dari efek jera yang akan membuat siapapun berhati-hati agar tak melakukan kesalahan. Namun, setiap manusia pasti ada yang berbeda pendapat. Hingga, ada kalangan yang kurang menyetujui pasal tersebut.

Alasannya, karena pasal 27 Ayat 3 UU ITE dianggap dari sebagian kalangan berbahaya. Terlebih lagi, jika diterapkan oleh pihak-pihak yang tak paham soal dunia maya. Selain itu, pasal tersebut juga bisa digunakan dengan mudah untuk menjerat oknum demi membungkam kritik.

Menanggapi keinginan tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara secara tegas mengatakan pasal 27 ayat 3 di UU ITE tersebut tidak mungkin dihapuskan.

Jika pasal tersebut dihilangkan, efek jera terhadap para pelanggar hukum akan hilang. Menurut Rudiantara, pasal tersebut sebenarnya memiliki peran besar dalam melindungi transaksi elektronik khususnya di dunia maya.

Namun, hanya saja dalam penerapannya sering terjadi kesalahan. Menurutnya yang salah bukan pasal 27 ayat 3-nya, melainkan adalah penerapan dari pasal 27 ayat 3 tersebut.

Akibat kesalahan penerapan tersebut, lanjut dia, sebanyak 74 orang telah menjadi “korban” dari UU ITE tersebut. “Saya turut prihatin atas kejadian yang menimpa teman-teman, terlepas siapa benar siapa salah. Saya melihat UU ITE secara makro, karenanya saya bilang UU ini tidak salah. Namun untuk kasus ini (korban UU ITE-red), I’m with you. Kalau enggak, saya enggak bakal ada di forum ini,” kata Rudiantara, saat dikutip dari website resmi Kementerian Kominfo.

Revisi adalah salah satu solusi agar tidak lagi ada korban akibat salah penerapan pasal. Solusi kedua adalah melakukan pembicaraan dengan aparat penegak hukum agar lebih hati-hati dalam menerapkan pasal ini di UU ITE, tegasnya.

Sementara itu, Meutya Hafid, Anggota Komisi I DPR RI, menyebut pasal 27 ayat 3 UU ITE sangat berbahaya. Terlebih lagi jika diterapkan oleh pihak-pihak yang tak paham soal dunia maya.

“Kalau saya pribadi tentu ingin dihapus saja. Karena sudah tergantikan dengan adanya KUHP,” kata Meutya dikutip dari website yang sama.

Namun ia meragukan soal kemungkinan dihapusnya pasal ini dari UU, karena hal itu melibatkan banyak pihak yang juga punya kepentingan lain.

Apa yang penulis tanggapi dari kejadian diatas? Penulis berpendapat setiap masalah yang terjadi akibat ada pihak merasa yang dirugikan karena ‘baper’ hingga dikatakan ujaran kebencian.

Jika masalah SARA, penulis sepakat dengan penerapan pasal 27 tersebut, namun jika alasan sepele yang menyebabkan pengguna media sosial bertikai? Apalagi masalah mereka berdua mengajak siapapun untuk ikut bertikai. Konyol bukan?

Kesimpulannya, negara bukan mengatur untuk menjaga perasaan pengguna media sosial. Karena banyak urusan negara yang lebih penting dibanding mengurusi kelakuan netizen yang berselancar di dunia maya.

Bagaimana pendapatmu, Kawan Bicara?

Sumber gambar: pexels.com

Share This:

More Articles

News

No results found.
Buka
Butuh Bantuan?
Halo, Kawan Bicara!
Ada yang bisa kami bantu?