Pesta demokrasi di Indonesia adalah momen bahagia khususnya bagi penyedia jasa sablon dan percetakan, namun tidak demikian bagi warga Indonesia pada umumnya. Setiap momen Pemilihan Umum (Pemilu) diadakan secara langsung, masyarakat kembali diresahkan dengan “sampah visual” yang bertebaran di sepanjang jalan, bangunan, area perumahan, bahkan kendaraan umum.
Ketika keluar rumah, masyarakat disuguhi foto narsis para calon legislatif (caleg) baik dari tingkat DPRD, DPD, dan DPR RI. Pada awalnya, sebagian besar masyarakat yang melihat bentuk sarana promosi diri tersebut tidak peduli dengan apa yang diperlihatkan. Namun, makin mendekati masa puncak Pemilu, spanduk caleg kian menjadi sorotan.
Setiap sudut kota, wilayah, perkampungan pasti tak jarang kita temui spanduk tersebut. Bahkan di lahan kosong pun bisa saja disulap untuk area narsis bagi sosok yang belum tentu kita kenal. Sebenarnya fokus penulis ada dua hal yang ingin diangkat terkait konsep komunikasi yang digunakan pada spanduk caleg tersebut.
Pertama, konsep pesan komunikasi yang diusung pada spanduk para caleg terkadang monoton dan tidak menonjolkan ciri khas tertentu. Padahal, jika mereka bisa memberikan sesuatu informasi yang berbeda akan memudahkan masyarakat untuk mengenal siapa mereka. Jika kita mengacu kepada bagaimana membuat pesan yang menarik, “The magic of three words” bisa menjadi solusi. Misal, Mr. X, salah satu caleg partai terkenal yang dengan percaya diri menggunakan istilah ‘Muda, Jujur, dan Merakyat’. Kita jangan kaget jika semua caleg akan menyusun langkah yang sama. Disini pula lah kreativitas komunikasi bermunculan dan menjadi tantangan sendiri bagi para caleg.
Selanjutnya, dari segi penggunaan medianya tak jarang kita jumpai para caleg sudah mulai sadar untuk memanfaatkan platform digital. Ada yang menggunakan instagram, twitter, facebook, bahkan youtube sebagai media promosi untuk membangun eksistensi diri.
Kita ambil contoh yang paling mudah saja yakni pada sosok ‘public figure’ ketika ikut mencalonkan diri untuk legislatif. Dikarenakan ia terkenal, ia bisa mengoptimalkan media sosial yang memiliki banyak pengikut media sosial. Hal ini tentu mengundang perhatian tersendiri bagi pemilih millennial yang banyak berinteraksi melalui gawai (baca: gadget). Selain itu, bisa mengoptimalkan sistem ‘ads-on’ pada laman website tertentu untuk mengiklankan diri dari pada merugikan pohon dan tembok. Efektif bukan?
Fenomena ini setidaknya bisa menjadi pionir untuk menyosialisasikan gerakan kampanye modern tanpa menciptakan spanduk narsis yang terkadang menjadi pengganggu bagi beberapa orang.
Jepang punya cara unik dalam mengemas momen pemilu tanpa merusak pemandangan lingkungan. Karena negeri yang terkenal akan kebersihannya ini memang menyediakan tempat khusus.
Hal tersebut berupa papan persegi panjang yang sudah dibagi menjadi beberapa bagian untuk menempatkan sejumlah poster bagi calon legislatif, sehingga jalanan di Jepang tetap bersih dan terlihat rapi. Berbicara soal papan reklame digital, tentu dioptimalkan sebagai pengganti spanduk. Jadi ada undang-undang yang mengatur setiap beberapa menit atau jam akan muncul beberapa caleg secara bergantian di setiap sudut kota. Contohnya, papan reklame digital seperti kawasan Times Square di New York bisa dioptimalkan untuk menampilkan sosok caleg tersebut. Menarik bukan?
Kita melihatnya juga sangat elegan tanpa merusak pemandangan lingkungan. Mungkinkah negara kita memerlukan revolusi dalam menjalankan pesta demokrasi secara modern berbasis digital? Bagaimana menurutmu, Kawan Bicara?
Penulis: Mustaqim Amna