Ayo Ubah Pandanganmu, Public Speaking Itu Adaptif!

public speaking

Sorotan mata para audiens yang tertuju kepada satu titik. Puluhan, ratusan, atau mungkin ribuan pasang telinga akan berupaya menyimak pesan yang akan disampaikan. Disaat situasi tersebut, sosok communicator mulai melawan rasa gugupnya untuk berinteraksi pada sebuah kegiatan seminar atau ‘something like old thing who wo know’.

Pernahkah kamu mendengar klise diatas tentang contoh adegan public speaking? Yeah, that’s often we heard. Terkadang, kita orang awam jika mendengar public speaking sudah termakan paradigma lama dimana satu komunikator menghadapi puluhan, ratusan, hingga ribuan pasang mata, dan telinga pada suatu ruangan.

Let me tell you all! Public speaking itu adalah bagian atau alat dari cara kita berkomunikasi. Tujuannya adalah agar pesan yang disampaikan communicator jelas tercerna oleh para communicant. Lalu, kominikasi itu maknanya luas, dan telah berevolusi bahkan beradaptasi sesuai perkembangan zaman.

Ah, masa sih? Let me explain to you!

So, setelah manusia purba jenis Cro-Magnon mulai melukis dinding goa, mereka berevolusi menggunakan bahasa isyarat hingga tercipta sebuah interaksi yang bisa saling dipahami. Saya tidak akan menjelaskan sejarahnya bagaimana bahasa isyarat bisa bertransformasi menjadi sebuah bahasa tutur, karena akan menjadi pembahasan yang panjang.

Selanjutnya, segala aktifitas seperti berburu, bercocok tanam, membentuk pemerintahan primitif, pasti membutuhkan komunikasi untuk bersosialisasi. Kalau tidak, sebuah peradaban tidak akan mengalami kemajuan.

Kita lanjut ke sekitar 2.500 tahun yang lalu di Athena kuno, para pemuda diminta untuk memberikan pidato yang efektif sebagai bagian dari tugas mereka sebagai warga negara. Selama waktu itu Socrates (c.469-3998 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM) mengajarkan murid mereka filsafat dan retorika. Retorika menurut Plato adalah “seni memenangkan jiwa oleh wacana,”.

Selanjutnya, retorika yang menjadi bagian dari komunikasi semakin berperan dalam mengasah bakat public speaking. Kita tengok di daratan Eropa pada Abad ke 15, Joan d’Arc memberikan orasi ke seluruh sisa kerajaan Perancis yang sudah kehilangan daya juang dalam memperjuangkan kemerdekaannya wilayahnya dari invansi kerajaan Inggris.

Lalu, pada Awal abad ke 20, kita menemukan sosok orator ulung yang mampu membakar semangat pasukan Jerman untuk membalaskan dendam kekalahan pada pertempuran Perang Dunia Pertama. Let me introduce him! He was my favorite figur in public speaking! Adolf Hitler!

Lalu bagaimana perkembangan public speaking selanjutnya? Nah itulah yang ada dalam benak kaum awam. Kita pernah mendengar seminar, workshop, dan pelatihan-pelatihan di kampus saar kita kuliah.

Di era digital, komunikasi harus mengikuti perkembangan zaman agar tetap efektif. Saat ini kita masih menemukan sistem face to face karena telah menjadi kebiasaan. Apakah dengan bersosial media masih bisa dikatakan ada ruang untuk public speaking?

Ada dong! Kamu tidak percaya? Tuh! Lihat aksi para youtuber dalam memanjakan penontonnya agar tertarik mengikuti aktifitas keseluruhan konten yang bersangkutan.

Saya pernah melihat salah satu konten channel youtube ‘Tim2one‘ yang diisi oleh Youtuber Chandra Liaw dan Tommy Lim . Disana ia mengatakan kenapa mereka saat opening dalam kontennya harus dengan semangat?

Karena mereka mengatakan, meskipun saat proses shooting hanya berhadapan dengan kamera, hal itu dianggap sebagai ribuan pasang mata dan layaknya berbicara didepan umum. Persuasi yang mereka lakukan harus semenarik mungkin untuk menjaring views yang banyak.

Jika mereka tidak menerapkan hak tersebut, jangan berharap akan di subscribe oleh penonton. So, this is relate with our paradigm about public speaking? Lets change your perspective about communication. This is future, oldman!

Share This:

public speaking

Sorotan mata para audiens yang tertuju kepada satu titik. Puluhan, ratusan, atau mungkin ribuan pasang telinga akan berupaya menyimak pesan yang akan disampaikan. Disaat situasi tersebut, sosok communicator mulai melawan rasa gugupnya untuk berinteraksi pada sebuah kegiatan seminar atau ‘something like old thing who wo know’.

Pernahkah kamu mendengar klise diatas tentang contoh adegan public speaking? Yeah, that’s often we heard. Terkadang, kita orang awam jika mendengar public speaking sudah termakan paradigma lama dimana satu komunikator menghadapi puluhan, ratusan, hingga ribuan pasang mata, dan telinga pada suatu ruangan.

Let me tell you all! Public speaking itu adalah bagian atau alat dari cara kita berkomunikasi. Tujuannya adalah agar pesan yang disampaikan communicator jelas tercerna oleh para communicant. Lalu, kominikasi itu maknanya luas, dan telah berevolusi bahkan beradaptasi sesuai perkembangan zaman.

Ah, masa sih? Let me explain to you!

So, setelah manusia purba jenis Cro-Magnon mulai melukis dinding goa, mereka berevolusi menggunakan bahasa isyarat hingga tercipta sebuah interaksi yang bisa saling dipahami. Saya tidak akan menjelaskan sejarahnya bagaimana bahasa isyarat bisa bertransformasi menjadi sebuah bahasa tutur, karena akan menjadi pembahasan yang panjang.

Selanjutnya, segala aktifitas seperti berburu, bercocok tanam, membentuk pemerintahan primitif, pasti membutuhkan komunikasi untuk bersosialisasi. Kalau tidak, sebuah peradaban tidak akan mengalami kemajuan.

Kita lanjut ke sekitar 2.500 tahun yang lalu di Athena kuno, para pemuda diminta untuk memberikan pidato yang efektif sebagai bagian dari tugas mereka sebagai warga negara. Selama waktu itu Socrates (c.469-3998 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM) mengajarkan murid mereka filsafat dan retorika. Retorika menurut Plato adalah “seni memenangkan jiwa oleh wacana,”.

Selanjutnya, retorika yang menjadi bagian dari komunikasi semakin berperan dalam mengasah bakat public speaking. Kita tengok di daratan Eropa pada Abad ke 15, Joan d’Arc memberikan orasi ke seluruh sisa kerajaan Perancis yang sudah kehilangan daya juang dalam memperjuangkan kemerdekaannya wilayahnya dari invansi kerajaan Inggris.

Lalu, pada Awal abad ke 20, kita menemukan sosok orator ulung yang mampu membakar semangat pasukan Jerman untuk membalaskan dendam kekalahan pada pertempuran Perang Dunia Pertama. Let me introduce him! He was my favorite figur in public speaking! Adolf Hitler!

Lalu bagaimana perkembangan public speaking selanjutnya? Nah itulah yang ada dalam benak kaum awam. Kita pernah mendengar seminar, workshop, dan pelatihan-pelatihan di kampus saar kita kuliah.

Di era digital, komunikasi harus mengikuti perkembangan zaman agar tetap efektif. Saat ini kita masih menemukan sistem face to face karena telah menjadi kebiasaan. Apakah dengan bersosial media masih bisa dikatakan ada ruang untuk public speaking?

Ada dong! Kamu tidak percaya? Tuh! Lihat aksi para youtuber dalam memanjakan penontonnya agar tertarik mengikuti aktifitas keseluruhan konten yang bersangkutan.

Saya pernah melihat salah satu konten channel youtube ‘Tim2one‘ yang diisi oleh Youtuber Chandra Liaw dan Tommy Lim . Disana ia mengatakan kenapa mereka saat opening dalam kontennya harus dengan semangat?

Karena mereka mengatakan, meskipun saat proses shooting hanya berhadapan dengan kamera, hal itu dianggap sebagai ribuan pasang mata dan layaknya berbicara didepan umum. Persuasi yang mereka lakukan harus semenarik mungkin untuk menjaring views yang banyak.

Jika mereka tidak menerapkan hak tersebut, jangan berharap akan di subscribe oleh penonton. So, this is relate with our paradigm about public speaking? Lets change your perspective about communication. This is future, oldman!

Share This:

More Articles

News

No results found.
Buka
Butuh Bantuan?
Halo, Kawan Bicara!
Ada yang bisa kami bantu?